BAB I
PENDAHULUAN
Relasi agama dan negara
sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung
harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami
ketegangan sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun
1950-1960. Maklumlah, relasi antar
keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik,
ekonomi, dan budaya.
Dari sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama
(Islam) dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan. Dalacaoura
menyebutkan dalam bukunya Islam Liberalism & Human Rights bahwa; religion
and politics are one.[1]
Jika memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat
dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi.[2]
Bahkan
Piagam Madinah oleh beberapa ahli dianggap merupakan sebuah konstitusi
dikarenakan di dalamnya memuat kontrak di antara kelompok-kelompok masyarakat
di Madinah yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan dan pemerintahan. Piagam
Madinah sering disebut sebagai Konstitusi Madinah, seperti dirumuskan oleh
salah seorang ahli terkemuka tentang Islam dari Barat, Montgomery Watt yang
menyebut Piagam Madinah sebagai The
Constitution of Medina.[3]
Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara
Barat. Amerika Serikat yang menyatakan memiliki konsep separation of church
and state saja sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan
agama. Dalam konteks Amerika pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan
campur tangan negara atas prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan
dinding pemisah (wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam
jalannya pemerintahan bernegara. Bahkan
menurut David A.J. Richards dalam Foundations of American Constitutionalis
dinyatakan bahwa bapak pendiri bangsa Amerika meyakini peran agama bagi
Amerika. Sebagaimana dipaparkan oleh Jhon Adam pada tahun 1765 yang
memperlihatkan relasi antara agama dan negara.[4]
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan negara dan agama seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali
dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering
dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan
ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik
di (negara) Barat maupun di (negara) Timur.
Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di
tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu
mendiskusikannya terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama
dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun
tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.
A. Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Istilah Sekularisme
Sebelum
”membaca” sejauhmana pentingnya membangun agama yang berlandaskan nilai-nilai
keagamaan. Maka perlu ditelusuri keberadaan pandangan ”oposisinya” yaitu prinsip
sekularisme.
Sekularisme
sendiri berasal dari terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis ”laiguisme”,
namun kata ”laigue” sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah
timbulnya makna sekulerisme itu sendiri. Asal kata yang tepat adalah ”laikos”
yaitu berasal dari kata Yunani. Laikos bermakna apa yang berhubungan dengan
masyarakat umum untuk dibedakan dengan dari ”clirous” (tokoh agama).[5]
Jadi menurut Muhammad Abid Al-Jabiri ”laque” adalah siapa saja yang
bukan tokoh agama atau tidak termasuk golongan pendeta.[6]
Kemudian
penggunaannya disimpangkan dalam konteks kenegaraan di Prancis dikarenakan
terjadinya peminggiran terhadap (baca; memusuhi) agama dan tokoh agama. Hal itu
disebabkan ketika itu pengajaran-pengajaran agama menjadi wewenang gereja yang
dilaksanakan di gereja-gereja. Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat umum
dilakukan oleh negara yang terbatas kepada ilmu-ilmu seperti matematika, ilmu
alam dan humaniora.[7]
Dari
pendekatan semantik dan sejarah itu oleh Jean Lacrowa diambil kesimpulan bahwa
”Sesungguhnya pemikiran laguisme (sekulerisme-pen) bukanlah lawan dari
pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya ia menuntut adanya pembedaan antara
apa yang duniawi dan apa yang sakral.” Kesalahpahaman terhadap makna
sekularisme semakin mendalam ketika nilai-nilai agama semakin hari semakin
ditinggalkan oleh masyarakat Barat. Hal itu dikarenakan kepentingan individu
menjadi begitu terganggu dengan keberadaan nilai-nilai agama. Agama dianggap
terlalu mengekang kebebasan individu sebagai subjek yang mengelola negara. Dari bagan ini dapat dilihat bahwa agama
adalah hal yang telah dijauhi oleh masyarakat Barat.
b. Perdebatan mengenai negara dan agama dalam BPUPK
Pembahasan
mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya tidak saja berasal ketika rapat
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tetapi
sudah berlangsung jauh hari di antara para pendiri bangsa. Namun tulisan ini
hanya membahas mengenai perbedaan cara pandang tersebut dalam rapat BPUPK. Hal
itu dikarenakan dalam sidang-sidang BPUPK tersebutlah ditemukan kesepakatan
mengenai bagaimana relasi antara negara dan agama dalam semangat ke-bhineka
tunggal ika-an Indonesia.
Pidato
Soepomo pada hari ketiga, 31 Mei 1945, di sidang BPUPK membahas mengenai
hubungan negara dan agama. Menurutnya setelah menguraikan mengenai dasar-dasar
negara maka konsekuensinya perlu dipaparkan olehnya persoalan yang timbul dari
pada teori integralistiknya. Menurut Soepomo soal-soal itu adalah;
- perhubungan
negara dan agama;
- cara bentukan
pemerintahan;
- perhubungan
negara dan kehidupan ekonomi.[8]
Sesungguhnya pembahasan antara para pendiri negara (founding
fathers and mothers) dan framers of constitution itu bukanlah
berkaitan dengan relasi antara agama dan negara. Akan tetapi lebih kepada
bentuk negara, apakah berbentuk negara Islam atau negara nasionalisme. Hal itu
dapat terlihat jika dicermati perkataan Soepomo berikut ini;
”Oleh anggota yang terhormat tuan Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang
lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara
dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah;
paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia
didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagaimana telah dianjurkan
oleh tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan
negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.”[9]
Soepomo bukan bermaksud menjauhkan nilai-nilai agama dari
negara. Karena itu tidaklah mungkin. Selagi negara diisi oleh orang-orang yang
beragama, maka tidaklah mungkin nilai-nilai agama dihindari dalam menjalankan
negara. Soepomo menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut;
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan
bersifat ”a religieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu hendaknya Negara
Indonesia yang juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh
agama Islam.[10]
Bahkan Soekarno juga menjelaskan bahwa konsep pemilihan
kepala negara Indonesia juga berkesesuaian dengan paham agama (baca; Islam). Dari
perkataan Soekarno ini akan memperlihatkan bahwa nilai-nilai agama tidak dapat
tidak akan selalu ”berkelindan” dalam menjalankan sistem bernegara.
Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan
memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie ”vooronderstelt
erfelijkheid”, -turun temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena
saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap
Kepala Negarapun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-kepala
Negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat?[11]
Oleh karena relasi agama dan negara sudah diperlihatkan
dan dinyatakan tidak dapat dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para
bapak bangsa, maka sangat tidak mungkin, dalam konteks kekinian, kita
menghindari nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan negara.
c. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila
“Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta
penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila
mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk
melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan
persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan
persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan
terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD,
18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga
dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini
berarti, tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding
fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di
antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas
kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta
berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama
atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat,
negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.[12]
Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam
melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara
oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta
juga berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai
satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini
dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan
dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia
(berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan
Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain
dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan
Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu
mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan
kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara
terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan
atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2
UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa
negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak
menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini
sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika
atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan
kepada orang lain
B. Prinsip
Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara
Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa
tindakan setiap manusia, termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan
dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan manusia,
baik yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan, berdimensi ke-Tuhan-an
atau berdimensi ibadah.
Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk
mengemban tugas sebagai
khalifah (wakil Tuhan, pengelola alam semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola
alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga kesinambungan
alam itu sendiri.
Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa” maka
sudah barang tentu
negara tidak akan memberikan toleransi dan kesempatan kepada setiap aparatusnya (pejabat negara,
pegawai negri sipil, pegawai BUMN/BUMD, anggota TNI, anggota Polri, dan
lainnya) melakukan penyalahgunaan kekuasaan, seperti: pelanggaran hak asasi
manusia, tindak pidana
korupsi, kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan hal-hal destruktif lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru bertentangan dengan hakekat
ajaran agama dan tujuan negara didirikan.
C. Penataan Hubungan antara Agama
dan Negara
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau
spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini,
kita perlu mendalami apa yang dikatakan Samuel P. Huntington dalam bukunya Who
Are We?The Challenges to America’s National Identity (New York: Simon &
Schuster, 2004) bahwa: Betapa
hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik, diindoktrinasikan di
mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan ekonomi, tiba-tiba seperti rumah
kardus langsung ambruk karena tidak ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, kita masih
bertahan hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya
kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan.[13]
Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya
merupakan “kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI,
seperti Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Jhon
Locke dalam tulisannya yang terkemuka berjudul An Essay Concerning The True
Original, Extent and End of Civil Government menyatakan betapa hubungan
negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan
legislasi.
These are the bounds which the trust that is put in them by the society
and the law of God and nature have set to the legislative power of every
commonwealth, in all forms of government.[14]
Karena agama-agama di Indonesia
telah memberikan sumbangsih besar kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian
yang dalam” yang disadari atau tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI,
maka sudah selayaknya negara juga memberikan sumbangsih yang setara kepada
agama-agama, sehingga agama-agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip mengayomi
seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin)[15], untuk terus ditebarkan sebagai “kerohanian yang
dalam” kepada bangsa Indonesia.
Dengan begitu, maka penataan
hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar
simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam
konteks ini, agama memberikan
“kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.
Penataan hubungan antara agama
dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling
mengontrol dan mengimbangi). Dalam
konteks ini, kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak
represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi
oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan
agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek
otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma
kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara.
E. Kebebasan
Beragama dalam Negara Pancasila
Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah
diperjelas dalam beberapa pasal-pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” serta Pasal
29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah:
- Negara hanya menjamin kebebasan warga
negara untuk memeluk agama masing-masing. Ini berarti, kebebasan untuk
tidak memeluk agama tidak dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang jika
disertai dengan upaya mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama,
karena secara tidak langsung merusak jaminan negara kepada warganya untuk
memeluk agamanya masing-masing.
- Setiap warga
negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya
masing-masing. Kalau memeluk agama Islam harus beribadat menurut Islam,
bukan berdasarkan cara lain. Begitu pula kalau memeluk Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain sebagainya.
- Ritus-ritus
keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama pemeluknya harus dapat
mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam segala
aspeknya serta dapat memperteguh persatuan dan persaudaraan di kalangan
masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya menjadi pemicu terjadinya konflik
horizontal.
F. Indonesia Merupakan
Negara Agamis
Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara,
maka kita tidak cukup lagi mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan
”bukan negara sekuler” sebagaimana terjadi di era Orde
Baru. Sebab pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi
”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan
negara sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk
memposisikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar negara.
Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara agamis. Negara agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara agamis, yaitu:
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh
ketentuan yang mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis, yakni:
1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden
bersumpah menurut agamanya.
3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan
peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.
4. Pasal 28J ayat
(2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia...”.
7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis
diakui melalui pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara
eksplisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan
Agama, UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui pembentukan UU yang secara implisit
mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan lain
sebagainya.
Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang
berwenang menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa
Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang
Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing.”
Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan
semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan
sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk
agama tadi dapat menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia) merupakan
mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung
tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan
agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga
berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara
Islam (Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau
negara Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama
formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan
nilai-nilai substansial dari beberapa agama.
Negara
agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara sekuler[16]
menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha
Esa), maka negara agamis justru sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara
G.
Hubungan Islam Dengan Pancasila Dan Negara
Aqidah
Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
Hari Akhir, dan Qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan
dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam
yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan untuk
menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, yang tidak
mungkin terwujud kecuali dengan adanya negara. Firman Allah SWT :
dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam
yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan untuk
menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, yang tidak
mungkin terwujud kecuali dengan adanya negara. Firman Allah SWT :
“Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhan” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).
keseluruhan” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).
“Apakah
kamu akan beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar kepada sebagian yang lainnya. Maka tidak adabalasan bagi yang
mengerjakan itu di antara kamu, melainkan
kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat mereka akan dikembalikan kepada azab yang sangat pedih”
(Qs. al-Baqarah [2]: 85).
Berdasarkan
ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya
iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena
hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka
keberadaan negara dalam Islam adalah
suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan
yang positif, dalam arti bahwa agama
membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat
yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi
yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara.
Agama
mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Maka
dari itu, tak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama-negara adalah sesuatu
yang tak mungkin terpisahkan. Keduanya
ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau`amaani). Jika dipisah, hancurlah
perikehidupan manusia.
Imam
Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I'tiqad halaman 199 berkata:
Karena
itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar.
Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah
penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala
sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.
Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah
penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala
sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.
Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa, juz 28 halaman 394 telah menyatakan:
Jika
kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan,
niscaya keadaan manusia akan rusak.
niscaya keadaan manusia akan rusak.
Sejalan
dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan, Juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam
telah mewajibkan umatnya untuk
mendirikan negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Negara
itulah yang terkenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fil
Islam, hal. 17 mendefinisikan Khilafah
sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan
mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru
dunia.
Seluruh
imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini.
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan
hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arbaah, juz V,
halaman 308:
halaman 308:
Para
imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu
wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib
mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari
yang menindasnya...
Tak
hanya kalangan empat madzhab dalam Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan
Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ¾juga termasuk
Khawarij dan Mutazilah¾ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat
seorang Khalifah.
Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ¾juga termasuk
Khawarij dan Mutazilah¾ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat
seorang Khalifah.
Imam
Asy Syaukani dalam Nailul Authar, jilid VIII, halaman 265 mengatakan:
Menurut
golongan Syiah, mayoritas Mutazilah dan Asyariyah, [Khilafah]
adalah wajib menurut syara.
adalah wajib menurut syara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negara agamis yang dianut Indonesia
justru menempatkan agama-agama pada posisi yang tinggi, sehingga dalam
konstitusi dirumuskan menjadi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Untuk
itu, agama-agama di Indonesia harus memanfaatkan rumusan konstitusi itu untuk
memasukkan prinsip-prinsip keagamaan terutama prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam kehidupan berbangsa dan negara. Dengan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa,
persatuan dan persaudaraan antar komponen bangsa akan tetap terjaga, sehingga
memantapkan posisi agama-agama di Indonesia sebagai ”kerohanian yang dalam”
yang menopang kohesi sosial, daya tahan, dan keutuhan NKRI.
B.
Kritik
dan Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
.Abuddin Nata (edt), Problematika
Politik Islam di Indonesia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 2002.
David
A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford
University Press, New York, 1989.
David Goldblatt, An Introduction to
The Social Sciences: Understanding Social Change, Knowledge and The Social
Sciences; Theory, Method, Practice, Routledge dan Open University, London,
2000.
Ernest
Barker (edt), Social Contract, essays by Locke, Hume, and Rousseau,
Oxford University Press, London, 1947.
Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.